Samson Atapary /ist |
Ambon, KabarMaluku.com - DPRD Maluku tidak perlu membentuk panitia khusus (Pansus) untuk menelusuri dugaan masuknya dana belasan miliar rupiah dari PT. Buana Pratama Sejahtera (BPS) ke rekening pribadi seorang pejabat Pemprov Maluku.
“Tidak perlu karena dari rapat-rapat kerja yang dilakukan komisi sudah terang benderang, dari proses substansi perjanjian kerja, pekerjaan yang dilakukan BPS hingga kaitan dengan aliran dana sebenarnya sudah jelas,” kata anggota komisi B DPRD Maluku, Samson Atapary di Ambon, Kamis (10/03/2016).
Menurut dia, DPRD tinggal meminta BPKP melakukan audit investigasi untuk kejelasan perkara itu dari aspek akuntansi keuangan dan aspek hukum. Pansus, kalaupun dibentuk, juga tidak mencari tahu aliran dana dari BPS itu.
“Jadi sebaiknya diserahkan kepada lembaga berkompeten untuk melakukan audit yang terukur. Untuk salah memang sudah salah, kira-kira alirannya apakah dimanfaat sesuai peruntukan penataan Gunung Botak atau lari ke kiri dan kanan,” tandasnya.
Komisi B selama ini telah melakukan rapat kerja dengan Dinas ESDM Maluku, BPKAD, Biro Hukum, maupun PT. BPS yang melakukan MoU dengan pemprov dalam penataan Gunung Botak pascapenutupan aktivitas penambangan emas tanpa izin (Peti).
“Kami akan undang BPKP RI Perwakilan Provinsi Maluku sehingga dengan harapan ada hasil audit investigasi bisa ketahuan secara jelas siapa saja pihak yang menikmati dananya,” tandas Samson.
Sehingga DPRD akan mengeluarkan rekomendasi dikaitkan dengan audit BPKP. “Kita juga akan merekomendasikan kepada Kejaksaan apabila ada indikasi pelanggaran hukum dari hasil audit sehingga kejaksaan harus menindaklanjuti itu dalam penegakan hukum terkait aliran dana dari BPS ke rekeing pribadi pejabat di daerah,” jelas Samson.
Kemudian terkait mekanisme kerja BPS, komisi merekomendasikan untuk perjanjian kerja itu harus dibatalkan, dan bila tetap ingin bekerjasama maka ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja baru tanpa harus merugikan pemda.
Sebab proses lahirnya perjanjian kerja itu harus melalui mekanisme standar yang selama ini berlaku, karena yang sudah dilakukan sebelumnya tidak memenuhi standar. Apalagi dari BPKAD provinsi juga mengaku tidak mengetahuinya, padahal ada uang dihasilkan dari perjanjian kerja itu dan bila dibuat baru, pemda diwajibkan membuat perencanaan yang matang untuk pengangkatan sedimen. (*/kt)
“Tidak perlu karena dari rapat-rapat kerja yang dilakukan komisi sudah terang benderang, dari proses substansi perjanjian kerja, pekerjaan yang dilakukan BPS hingga kaitan dengan aliran dana sebenarnya sudah jelas,” kata anggota komisi B DPRD Maluku, Samson Atapary di Ambon, Kamis (10/03/2016).
Menurut dia, DPRD tinggal meminta BPKP melakukan audit investigasi untuk kejelasan perkara itu dari aspek akuntansi keuangan dan aspek hukum. Pansus, kalaupun dibentuk, juga tidak mencari tahu aliran dana dari BPS itu.
“Jadi sebaiknya diserahkan kepada lembaga berkompeten untuk melakukan audit yang terukur. Untuk salah memang sudah salah, kira-kira alirannya apakah dimanfaat sesuai peruntukan penataan Gunung Botak atau lari ke kiri dan kanan,” tandasnya.
Komisi B selama ini telah melakukan rapat kerja dengan Dinas ESDM Maluku, BPKAD, Biro Hukum, maupun PT. BPS yang melakukan MoU dengan pemprov dalam penataan Gunung Botak pascapenutupan aktivitas penambangan emas tanpa izin (Peti).
“Kami akan undang BPKP RI Perwakilan Provinsi Maluku sehingga dengan harapan ada hasil audit investigasi bisa ketahuan secara jelas siapa saja pihak yang menikmati dananya,” tandas Samson.
Sehingga DPRD akan mengeluarkan rekomendasi dikaitkan dengan audit BPKP. “Kita juga akan merekomendasikan kepada Kejaksaan apabila ada indikasi pelanggaran hukum dari hasil audit sehingga kejaksaan harus menindaklanjuti itu dalam penegakan hukum terkait aliran dana dari BPS ke rekeing pribadi pejabat di daerah,” jelas Samson.
Kemudian terkait mekanisme kerja BPS, komisi merekomendasikan untuk perjanjian kerja itu harus dibatalkan, dan bila tetap ingin bekerjasama maka ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja baru tanpa harus merugikan pemda.
Sebab proses lahirnya perjanjian kerja itu harus melalui mekanisme standar yang selama ini berlaku, karena yang sudah dilakukan sebelumnya tidak memenuhi standar. Apalagi dari BPKAD provinsi juga mengaku tidak mengetahuinya, padahal ada uang dihasilkan dari perjanjian kerja itu dan bila dibuat baru, pemda diwajibkan membuat perencanaan yang matang untuk pengangkatan sedimen. (*/kt)