KPK Dan Akrobat Koruptor Maluku

0
Oleh : Wahada Mony
Koordinator Indonesian Democration Reform Institute atau (INDEI)
Wahada Mony, Ketua INDEI /KM.com

Ambon, KabarMaluku.com -
Korupsi di Maluku saat ini sulit di bendung, lokus persoalannya semakin mengakar bahkan kian menyalip sumbu kesejahteraan rakyat. Selain tumbuh subur, lembaga penegak hukum seakan dibuat hingga tak bernyali untuk memutus mata rantai kejahatan yang luar biasa ini (extra ordinary crime). Mulai dari Gubernur, Bupati/Walikota, hingga SKPD tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota ramai-ramai ikut menyandera dana “segar” baik bersumber dari APBN maupun APBD di daerah. Ironisnya, jabatan politik atau jabatan publik yang dipercayakan masyarakat ikut terjebak dengan menjarah uang milik rakyat demi sebuah kepentingan pribadi ataupun kelompok yang di cita-citakan.

Logika korupsi di Maluku diperkirakan akan terus terjadi dan membengkak secara ekspansif. Skala intensitasnya kian menyubur jika seiring kekuasaan sekadar penyimpangan wewenang maupun jabatan bagi elite politik maupun birokrat di daerah ini (abuse of power).

Sudut pandang korupsi yang terjadi di Maluku saat ini paling tidak mencirikan kejahatan koruptor yang konon dengan causation in fact di antara dua sisi demand dan supply. Dari sisi demand, pertanyaan mutakhir adalah, “mengapa korupsi sangat mudah berpotensi terjadi”. Sedangkan pertanyaan sisi suppl yakni : “bagaimana cara korupsi itu terjadi secara apik dan sistematis, serta bagaimana cara pencegahannya”. Dua pertanyaan krusial ini sesulit tatkala ingin menemukan titik terangnya, karena faktualnya, frame akrobat elite pejabat pandai memainkan disaign korupsi untuk melakukan kejahatan hokum baik secara personal maupun berjamaah.

Akibat dampak authority crime ikut merubah kultur budaya politik elite pejabat di Maluku untuk mengeruk uang negara. Dan bagi penulis, secara empiris proses dramaturgi terjadinya korupsi di Maluku paling tidak ikut meresult beberapa point persoalan urgensial antara lain, Pertama, penyalahgunaan wewenang dan jabatan oleh pejabat daerah, kedua, penyimpangan terhadap anggaran negara baik APBN maupun APBD, ketiga, rekayasa pengelolaan anggaran negara tidak tepat sasaran, keempat, minimnya kesejahteraan pejabat yang berdampak pada potensi terjadinya perilaku koruptif, serta kelima, lemahnya pengawasan serta pasifnya check and balance antara eksekutif, legislatif maupun yudikatif yang meloloskan terjadinya kejahatan korupsi.

Kelima point perosalan diatas kemudian menajdi benang merah terhadap suburnya korupsi di Maluku yang semakin kronis. Data agregat menunjukan, skndal korupsi dari tahun ke tahun terus hadir dan menggurita apalagi absennya penegakan hukum dalam pemberantasan mega korupsi. Terbukti, beberapa kasus mega korupsi sejak tahun 2003 hingga 2014 masih tersumbat justru semakin jauh dari aparat penegakan hukum. Lantas kapan dan siapakah lembaga penegak hukum berani mengungkap raja koruptur di daerah ini, jika memang Jaksa dan Kepolisian daerah tak berani masuk membongkar lingkaran korupsi berjamaah di dalam kekuasaan (eksekutif dan legialatif).

Tengok misalnya korupsi kakap, Dugaan Gratifikasi rumah megah Mantan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu, senilai Rp 10 miliar yang dibiayai oleh pengusaha Hendrik Kwanandar. Seiring dengan kasus tersebut, dugaan korupsi dana Inpres nomor 6 tahun 2003 senilai Rp 4,4 Triliun yang di luncurkan dari APBN untuk mebangun kembali (recovery) Provinsi Maluku pasca konflik horizontal pada 1999 bersamaan ikut menguat. Dana talangan yang dikucurkan oleh pempus itu kemudian merugikan negara mencapai Rp 1,6 triliun. Kasus inipun juga menyeret nama Karel Albert Ralahalu sebagai penguasa saat itu. Namun, tribun kasus ini kini mulai menyisih dari panggung penegakan hukum. Apalagi kasus ini begitu sangkut pautnya dengan banyak pejabat Maluku saat itu.

Dari lompatan korupsi dana Inpres tersebut, kemudian berefekpula terhadap existensial leap pertumbuhan korupsi lainnya. Pusat Kabupetn/Kota menjadi zona subur bagi Bupati maupun Walikota dan SKPD untuk melakukan tindakan koruptif. Kini aroma mengendus dugaan korupsi pada pembangunan Jembatan Merah Putih (JMP). Proyek pembangunan yang menghabiskan dan APBN sebesar Rp 650 miliar tersebut, menguat dugaan suburnya korupsi dari berbagai pihak. Publik kemudian menuding Karel Albert Ralahalu, Antonius Sihaloho (Mantan Kadis PU), serta Jefri Pattiasina selaku Mantan Kepala Balai Pelaksana Jalan dan Jembatan Nasional (BPJN) Wilayah IX Maluku dan Maluku Utara sebagai aktor di balik dugaan korupsi mega proyek JMP tersebut.

Begitulah ironi kejahatan korupsi yang tidak mengenal kasta pejabat manapun. Jika beberapa kasus diatas menyandera pejabat publik (eksekutif) dalam lingkaran kekuasaan Pemerintah Provinsi Maluku. Ini lain halnya penjarahan uang negara dilakukan oleh para wakil rakyat (legislatif). Dugaan korupsi dana aspirasi DPRD Maluku Periode 2009-2014 sebesar Rp 2,5 miliar per anggota DPRD merupakan kejahatan terbesar sepanjang pemerintahan Provinsi Maluku. Menurut berbagai sumber, awalnya 1,5 miliar harus dikantongi oleh setiap anggota DPRD Maluku dari sekitar Rp 67,5 miliar yang dihabiskan oleh ke-45 Anggota DPRD dari APBD tahun anggaran 2010. Akan tetapi mengalami kenaikan sejak tahun 2011 hingga 2014, dari total 2,5 miliar per anggota dewan yang diterima. Maka secara matematis, APBD Maluku yang dihabiskan oleh 45 anggota DPRD Maluku periode 2009-2014 untuk tahun anggaran 2010 hingga 2014 sebesar Rp 517,5 miliar.

Nilai korupsi dana aspirasi tersebut bagi publik sangat fantastik dan tingkat korupsinya justru lebih dahsyat. Kasus ini lalu kemudian menggema ke ranah publik, bahkan menjadi pemberitaan masal media-media lokal di Maluku dalam beberapa pekan terakhir. Kejahatan korupsi bisa dan kapan saja terjadi. Jika kekuasaan tersandera kepentingan, maka penyimpangan anggaran pun mudah terjadi. Maka diktum Lord Acton kini sudah menyandera elite pejabat di Maluku, “Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely” (Kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan mutlak cenderung menjadi korup secara mutlak pula).

“Meledaknya” kasus mega korupsi seperti yang disebutkan diatas, hingga kini masih tetap menyisahkan agenda pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum di daerah ini. lembaga penegak hukum kiranya harus diberi “energi” super agar berani membongkar korupsi di dalam lingkaran kekuasaan. Maklum, penyelesaian kasus korupsi di Maluku selalu ending secara politis dan atas dasar lobi kekuasaan. Lemahnya authority aparat penegak hukum maka ancaman organized crime terhadap sumber-sumber anggaran negara akan menjadi primary needs bagi ketahanan koruptor di Maluku. Itu artinya, kekuasaan yudikatif ingin menyuburkan perkara korupsi di Maluku.

Akibat dampak korupsi, citra Maluku semakin terburuk sebagai daerah terkorup di Indonesia. Karena ikut menghambat progres daerah dari sisi developmnet. Dengan implikasinya sederhana, Maluku sebagai daerah termiskin di kawasan Indonesia Timur. Karenanya, input anggaran berbanding terbalik dan berubah sembilan puluh derajat dengan output pembangunan Maluku.

Desak KPK

Perkara korupsi di Maluku adalah ihwal role playing aparat penegak hukum di daerah (Jaksa dan Kepolisisan) untuk memberantasnya. Namun jika penanganan mega korupsi yang melibatkan pejabat teras dalam lingkaran kekuasaan, maka pengadilan terakhir bagi koruptor adalah di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Adalah tanggung jawab kelompok penekan (presure group) maupun kelompok organisasi pegiat korupsi (civil society) di Maluku untuk mendesak dan mendorong KPK agar memberantas kasus korupsi di lingkaran kekuasan Maluku. Karenanya, keberadaan KPK saat ini masih dianggap kredibel, profesional dan dipercaya untuk mengusut tuntas berbagai korupsi di Indonesia termasuk di Maluku. Pasalnya, kewenangan KPK masih bersifat indepneden dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun sehingga sulit bagi elit pejabat untuk melobi dan melakukan ekstrim monopoli politik dalam agenda pemberantasan korupsi.

Sejauh ini korupsi di Maluku menjadi persoalan serius, KPK paling tidak sudah mengantongi berbagai kasus korupsi yang mencuat di daerah ini. Sehingga agenda pemberantasan korupsi Maluku bagi KPK, adalah incaran tersendiri guna membongkar kelas mafia koruptor yang masih bebas liar. Dan prinsipnya, penguasa menjadi objek ujian terberat bagi nyali KPK.

Terkait dengan hal tersebut, dalam berbagai diskursus dengan KPK baik di forum-forum resmi maupun non formal, penyebutan skala mega korupsi di Maluku tak lepas dari trending topik dan wacana di KPK. Sehingga tinggal menunggu saatnya jika kemudian KPK akan masuk mengusut berbagai dugaan korupsi di Maluku yang melibatkan petinggi teras di Maluku (Gubernur, Bupati/Walikota maupun SKPD).

KPK memikul harapan besar rakyat Maluku. KPK kini didesak dan didorong agar terus bergerak, bukan hanya memberantas suburnya korupsi daerah-daerah lain di Indonesia tapi juga di Maluku secara adil tanpa pandang bulu. Dan saat ini, KPK dituntut nyalinya menuntaskan kasus-kasus korupsi besar di Maluku di antaranya gratifikasi rumah Mantan Gubernur Maluku (Karel Albert Ralahalu), Dana Inpres Nomor 6 tahun 2003, dugaan Gratifikasi pejabat Maluku pada proyek pembangunan Jembatan Merah Putih (JMP), serta Dugaan Korupsi Dana Aspirasi DPRD Provinsi Maluku Periode 2009-2014.

Disaign konflik oleh para akrobat elite pejabat koruptor sebagai upaya menghambat turunnya KPK di Maluku adalah merupakan fenomena tersendiri. Tentu bagi KPK, bukan menjadi sebuah bumerang tapi justru menjadi tantangan hukum, agar memangkas indeks korupsi di Maluku harus disegera dimulai dan itu akan di lakukan oleh KPK sendiri. Mari bersama dorong dan dukung KPK untuk mengungkap kasus kejahatan korupsi di Maluku. Upaya menciptakan Maluku zona bebas korupsi.



KM.com

Post a Comment

0 Comments
Post a Comment (0)
To Top